Eddy Hiariej: Penyidik KPK, Kejaksaan, dan TNI Dikecualikan dari Upaya Paksa RUU KUHAP
Wacana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus memantik diskusi luas, terutama terkait efektivitas penegakan hukum dalam kasus korupsi.

Jakarta – Wacana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terus memantik diskusi luas, terutama terkait efektivitas penegakan hukum dalam kasus korupsi. Salah satu poin krusial yang kini disorot adalah ketentuan mengenai upaya paksa, seperti penyadapan, penahanan, penangkapan, hingga pencegahan ke luar negeri.
Namun, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, atau yang akrab disapa Eddy, memastikan bahwa berbagai upaya paksa dalam RUU KUHAP tidak akan diberlakukan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan RI, dan TNI.
“Ada sejumlah pasal dalam RUU KUHAP seperti penyelidikan, pengawasan penyidikan, penghentian penyidikan, penangkapan, penahanan, dan beberapa bentuk upaya paksa yang dikecualikan untuk penyidik KPK, Kejaksaan, dan TNI,” kata Eddy dikutip Kompas, Jumat (18/7/2025).
Menurut Eddy, penyidik KPK dan Kejaksaan tetap tunduk pada hukum acara khusus yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang KPK, bukan dalam KUHAP yang bersifat umum. Prinsip ini didasarkan pada asas hukum lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
“Kami sangat memahami bahwa korupsi adalah tindak pidana khusus yang memerlukan pendekatan hukum acara yang berbeda. Maka, tentu yang berlaku adalah ketentuan dalam UU Tipikor dan UU KPK,” jelasnya.
Eddy juga menyinggung soal penyadapan dalam draf RUU KUHAP yang hanya diatur secara normatif. Is menegaskan tidak akan ada pembatasan penyadapan terhadap KPK selama belum ada UU penyadapan yang spesifik.
“Hanya satu pasal yang berbunyi: ‘Ketentuan mengenai penyadapan akan diatur dalam undang-undang tersendiri,’” kata Eddy.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemberlakuan hukum acara yang bersifat khusus juga diberlakukan dalam penanganan tindak pidana lain seperti terorisme dan narkotika.
Isu ini mencuat seiring kekhawatiran publik terhadap potensi pelemahan KPK dalam pemberantasan korupsi. Namun, Eddy menepis kekhawatiran tersebut, mengingat situasi serupa pernah terjadi saat Tindak Pidana Korupsi dimasukkan ke dalam KUHP baru yang disahkan pada 2 Januari 2023.
“Kala itu juga muncul kekhawatiran akan melemahnya pemberantasan korupsi. Namun faktanya, KPK tetap optimal menjalankan fungsi pencegahan dan penindakan. Tidak ada yang berubah,” ungkapnya.
Meski demikian, KPK tetap mencatat berbagai potensi permasalahan yang perlu dikritisi dalam draf RUU KUHAP. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebutkan, hingga pertengahan Juli 2025, pihaknya telah mengidentifikasi 17 poin krusial dalam rancangan tersebut.
“Dalam diskusi internal KPK, setidaknya ada 17 poin penting yang menjadi catatan. Poin-poin ini akan terus kami kaji dan sampaikan secara resmi kepada Presiden serta DPR sebagai bentuk masukan konkret,” kata Budi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Salah satu isu sentral adalah hilangnya kekhususan penanganan kasus korupsi dalam draf KUHAP yang dianggap berpotensi bertentangan dengan karakteristik extraordinary crime yang melekat pada tindak pidana korupsi.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Artinya, upaya penegakan hukum juga harus luar biasa, dan itu tidak bisa diperlakukan sama dengan pidana umum. Jika KUHAP tidak mempertimbangkan aspek lex specialis, maka bisa mengganggu efektivitas penanganan kasus korupsi,” pungkas Budi.
Sumber: kompas.com
Berikan Reaksi Anda






