MSPI Tuding Kriminalisasi Terhadap Suhari, Ajukan Perlindungan Hukum ke Komisi III DPR RI dan Kajati DKI
Jakarta, — Dugaan kriminalisasi terhadap Suhari alias Aoh kembali mencuat ke permukaan setelah Direktur Hubungan Antar Lembaga MSPI, Thomson Gultom, melayangkan permohonan perlindungan hukum kepada Ketua Komisi III DPR RI dan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Suhari dituding dikriminalisasi oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik dan penyebaran konten pornografi tanpa bukti kuat.

Kasus ini bermula dari laporan Budi pada 14 September 2018 lalu, yang ditangani Unit II Subdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Suhari alias Aoh dijerat dengan Pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) dan/atau Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE serta Pasal 29 jo Pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Tak lama setelah laporan tersebut masuk, Suhari ditahan secara mendadak dan disebut mengalami perlakuan yang tidak manusiawi selama 6 hari.
Menanggapi hal itu, MSPI mengajukan surat resmi permohonan perlindungan hukum bernomor 023/Perlidungan Hukum/MSPI/VI/2025, yang diterima Sekretariat Jenderal DPR RI pada 23 Juni 2025. “Alasan permohonan ini jelas, karena Suhari saat penahanan pada 2–8 November 2018, sebenarnya sedang dalam program perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” tegas Thomson Gultom d iterbitkan media ini, Kamis (26/6/2025).
Ia menyebutkan bahwa pelepasan Suhari dari tahanan pada 8 November 2018 dilakukan secara diam-diam dan tanpa penjelasan resmi dari pihak kepolisian. "Saudara Suhari bahkan menolak keluar dari tahanan pada tengah malam tanggal 7 November 2018 karena curiga terhadap niat di balik pembebasannya yang mendadak," ujar Thomson.
Setelah kejadian tersebut, proses hukum terhadap Suhari tidak pernah lagi dilanjutkan. Hingga kemudian, secara mengejutkan, pada 22 Mei 2025, Polda Metro Jaya menerbitkan kembali Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bernomor B/8257/V/RES.2.5./2025/Ditreskrimsus.
MSPI mempertanyakan dasar hukum penghidupan kembali kasus yang telah mati suri selama hampir tujuh tahun tersebut. “Dulu ditangkap dan ditahan secara brutal, lalu dilepaskan tanpa penjelasan. Sekarang, tiba-tiba kasus itu dihidupkan kembali? Apakah ini bentuk intervensi kekuasaan oleh pelapor?" tanya Thomson Gultom penuh keheranan.
Atas dasar itu, MSPI juga melayangkan surat perlindungan hukum kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dengan nomor 020/Perlindungan Hukum/MSPI/IV/2025, pada 2 Juni 2025. Thomson meminta agar SPDP tersebut diteliti secara cermat untuk memastikan apakah penetapan tersangka terhadap Suhari memenuhi unsur-unsur hukum secara sah.
Menurut Thomson, ada dugaan kuat bahwa laporan yang dilayangkan oleh Budi pada 2018 merupakan upaya sistematis untuk membungkam Suhari yang saat itu sedang mengungkap kasus pembunuhan berencana terhadap Herdi Sibolga alias Acuan. Pelaku utama pembunuhan, Ahmad Sunandar alias Nandar dan aktor intelektualnya, Handoko alias Alex, sudah divonis hukuman seumur hidup.
“Motif pelapor patut dicurigai sebagai upaya menghalangi Suhari dalam membantu pengungkapan kasus pembunuhan tersebut. Ini bukan hanya soal pencemaran nama baik atau pornografi, tapi dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk membungkam saksi kunci,” jelasnya.
Atas semua kejanggalan ini, MSPI berharap Komisi III DPR RI dapat memberikan perhatian serius dan melakukan evaluasi terhadap kinerja penyidik Polda Metro Jaya. “Kami minta Komisi III memberikan teguran keras kepada Kapolri agar aparat penyidik bertindak profesional dan tidak tunduk pada tekanan eksternal. Penegakan hukum harus adil dan tidak diskriminatif,” tegas Thomson.
Ia juga menegaskan bahwa pengusutan ulang kasus ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menjadi alat kriminalisasi terhadap warga negara. "Kami tidak menolak penegakan hukum, tapi kami menolak ketidakadilan," pungkasnya.
Berikan Reaksi Anda






