Mahupiki Soroti Sejumlah Catatan Kritis RKUHAP: Dorong Pembaruan Hukum Acara Pidana yang Berkualitas

Secara prinsip, Mahupiki mendukung penuh pembaruan hukum acara pidana, namun pembaruan itu harus bersifat konstruktif, realistis, dan aplikatif. Setiap perubahan harus menjawab tantangan dalam praktik hukum saat ini, bukan sekadar perubahan normatif tanpa arah implementatif yang jelas.

Jul 22, 2025 - 17:37
 0
Mahupiki Soroti Sejumlah Catatan Kritis RKUHAP: Dorong Pembaruan Hukum Acara Pidana yang Berkualitas

Jakarta – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Pirman Wijaya, menyampaikan apresiasi terhadap kinerja Tim Panitia Kerja (Panja) dan Tim Perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Meski demikian, Mahupiki mengingatkan bahwa masih terdapat sejumlah catatan penting yang harus menjadi perhatian serius demi menciptakan sistem peradilan pidana nasional yang adil, modern, dan operasional.

Pirman menyebut pembaruan RKUHAP merupakan langkah strategis untuk membangun hukum acara pidana yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Namun, dia menekankan agar tim perumus tidak mengabaikan aspek-aspek fundamental yang bisa menghambat implementasi di lapangan.

Mahupiki menyoroti Pasal 5 RKUHAP yang memberikan batas waktu tahap penyelidikan selama enam bulan. Menurut , fase ini harus tetap dapat diuji melalui lembaga praperadilan, termasuk seluruh tindakan yang dilakukan penyelidik. Hal ini penting agar prinsip check and balance dalam penegakan hukum tetap terjaga sejak tahap paling awal penyidikan.

“Harus ada ruang kontrol terhadap tindakan penyelidik. Praperadilan harus memiliki kewenangan lebih luas, bahkan sejak tahap penyelidikan,” kata Pirman di Senayan Selasa (22/7/20225).

Lebih lanjut, Mahupiki juga menilai perlu ada peninjauan ulang terhadap terminologi "Penyidik Utama" sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 ayat (2) RKUHAP. Selain aspek normatif, Pirman meminta agar penyebutan ini disesuaikan dengan kebutuhan sistem dan tata kelola penegakan hukum modern, menghindari multitafsir yang dapat berdampak pada proses penanganan perkara.

Pasal 59E menjadi sorotan karena menyangkut relasi krusial antara penyidik dan jaksa penuntut umum. Ketika terjadi perbedaan pendapat soal kecukupan alat bukti, menurut Mahupiki, jangka waktu tambahan 14 hari sebagaimana diatur Pasal 59E ayat (6) terlalu singkat. Oleh karena itu, perlu ditambahkan ayat (7) untuk memperpanjang waktu menjadi 60 hari, guna memastikan keselarasan antara proses penyidikan dan tuntutan hukum.

Pirman menekankan perlunya perluasan kewenangan praperadilan, tidak hanya untuk menguji sah tidaknya penangkapan dan penahanan, namun juga hak-hak lain yang dijamin dalam hukum acara pidana. Bila termohon dengan sengaja menghindari persidangan, maka ia dianggap melepaskan haknya membela diri, dan proses hukum tetap berjalan dengan mengakui putusan praperadilan sebagai final.

“Praperadilan harus menjadi forum korektif, sekaligus mekanisme keadilan cepat jika hak tersangka atau terdakwa dilanggar,” ujarnya.

Lebih dari itu, Mahupiki mendorong agar RKUHAP memperjelas penggunaan teori pembuktian. Dalam sidang praperadilan, harus digunakan teori pembuktian secara positif, sementara dalam persidangan pidana menggunakan sistem pembuktian secara negatif – yakni hakim tidak bisa menjatuhkan pidana kecuali terdapat minimal dua alat bukti sah dan keyakinan hakim.

“Ini untuk menjaga keseimbangan antara asas legalitas dan keadilan substantif,” jelas Pirman.

Mahupiki menilai penghapusan Pasal 183 KUHAP dalam RKUHAP adalah kelalaian besar. Pasal tersebut memuat teori pembuktian secara negatif, yang menjadi landasan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Oleh karena itu, sebelum Pasal 222 RKUHAP, perlu dimuat kembali norma yang setara dengan Pasal 183 KUHAP.

“Keyakinan hakim harus dibangun atas dua alat bukti yang sah. Ini adalah prinsip fundamental dalam peradilan pidana,” tegas Pirman.

RKUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 327 dan 328 menyebutkan ketentuan peralihan, namun Mahupiki mengingatkan pentingnya pengaturan masa transisi yang lebih jelas. Setidaknya ada 18 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus disiapkan agar RKUHAP bisa diimplementasikan. Jika aturan pelaksana ini belum tersedia, dikhawatirkan hukum acara pidana justru mengalami stagnasi.

“Pemerintah harus menjamin semua regulasi pendukung tersedia sebelum RKUHAP diberlakukan. Tanpa itu, hukum acara pidana tak akan berjalan efektif,” pungkas Pirman.

Berikan Reaksi Anda

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow