Literasi Siswa SMP Masih Rendah, Anggota DPR NasDem: Visi Indonesia Emas Bisa Jadi Indonesia Cemas
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi NasDem, Furtasan Ali Yusuf, terkait kondisi literasi di sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Serang, Banten.

Jakarta – Keprihatinan mendalam disampaikan Anggota Komisi X DPR RI Fraksi NasDem, Furtasan Ali Yusuf, terkait kondisi literasi di sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Serang, Banten. Dalam Rapat Kerja bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, Furtasan mengungkapkan bahwa masih banyak siswa kelas 1 dan 2 SMP yang belum bisa membaca.
Pernyataan tersebut dilontarkan Furtasan saat pembahasan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) APBN Tahun Anggaran 2024, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa 16 Juli 2026. Ia mempertanyakan efektivitas data capaian literasi nasional yang disebut-sebut sudah berada di angka 68 persen dan numerasi 66 persen, jika di lapangan justru masih ditemukan pelajar SMP yang belum melek aksara.
“Saya turun langsung ke lapangan. Banyak anak SMP, terutama kelas 1 dan 2, yang belum bisa membaca. Padahal data menunjukkan literasi kita tinggi. Ini kontradiktif dan sangat mengkhawatirkan,” tegas Furtasan.
Furtasan menilai rendahnya literasi merupakan buah dari kebijakan kurikulum sebelumnya yang dinilai terlalu memaksa siswa naik kelas, meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca. Menurutnya, sistem tersebut membiarkan siswa ‘lulus otomatis’ tanpa adanya proses evaluasi yang objektif.
“Saya tanya ke kepala sekolah, kenapa bisa begitu? Ternyata kurikulumnya. Anak bisa membaca atau tidak, tetap harus naik kelas. Ini masalah serius,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ia menyoroti penerapan Kurikulum Merdeka yang dinilai belum sepenuhnya berpijak pada realitas di lapangan. Kurikulum ini, menurut Furtasan, terlalu longgar dan tidak memberikan ruang evaluasi yang memadai bagi siswa.
“Dulu kita mengenal istilah ‘rapor merah’ sebagai bentuk evaluasi dan motivasi. Sekarang, semua naik kelas tanpa peduli kemampuan. Kurikulum Merdeka tidak cukup mempertimbangkan kondisi riil siswa,” kritiknya tajam.
Furtasan khawatir, jika sistem pendidikan seperti ini terus berlangsung, maka visi Indonesia Emas 2045 justru bisa berubah menjadi Indonesia Cemas.
Sebagai wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Banten II, Furtasan mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan terkait program revitalisasi sekolah di wilayahnya. Namun, ia menyoroti bahwa proses tersebut berjalan lambat karena terhalang persoalan klasik: status lahan sekolah yang belum bersertifikat.
“Ada long list sekolah yang akan direvitalisasi, tapi kendalanya banyak berdiri di atas lahan tak bersertifikat. Padahal bantuan pembangunan fisik membutuhkan kejelasan status tanah,” ungkapnya.
Furtasan juga menyoroti ketidaksesuaian data di sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dengan realita di lapangan. Ia mengungkapkan bahwa banyak sekolah yang melakukan perbaikan data secara mendadak menjelang akreditasi, agar terlihat layak, meski kondisi aslinya sangat jauh dari standar.
“Saat mau akreditasi, data Dapodik diperbaiki agar terlihat bagus. Tapi kenyataannya, sekolah itu tidak layak dan akhirnya tidak mendapat bantuan karena datanya tidak akurat,” ujarnya.
Ia menilai bahwa sistem akreditasi dan pemberian bantuan yang terlalu bergantung pada data digital tanpa verifikasi langsung dapat menimbulkan ketimpangan dalam distribusi bantuan pendidikan.
Menyikapi berbagai persoalan yang kompleks ini, Furtasan menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan nasional, termasuk terhadap Kurikulum Merdeka. Ia juga mendorong agar kolaborasi lintas lembaga—baik Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi, hingga Kabupaten/Kota—diperkuat.
“Soal literasi ini tidak bisa diserahkan pada satu pihak. Semua harus terlibat. Kita perlu evaluasi total—apakah kurikulumnya yang bermasalah atau implementasinya yang keliru,” katanya.
Menurut Furtasan, perbaikan sektor pendidikan adalah fondasi utama dalam menyongsong bonus demografi dan visi Indonesia Emas 2045. Ia mengajak semua pemangku kepentingan untuk tidak menutup mata terhadap masalah mendasar yang dihadapi siswa, terutama yang berasal dari daerah.
Berikan Reaksi Anda






