Politisi Gerindra Desak Perlindungan Petani Lampung: Soroti Anjloknya Harga Jagung dan Ayam Hidup

Anggota Komisi V DPR RI, Dwita Ria Gunadi, menyoroti kebijakan terbaru Kementerian Pertanian terkait penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) ayam ras hidup sebesar Rp18.000 per kilogram mulai 19 Juni 2025.

Jul 3, 2025 - 03:50
 0
Politisi Gerindra Desak Perlindungan Petani Lampung: Soroti Anjloknya Harga Jagung dan Ayam Hidup
Anggota Komisi V DPR RI, Dwita Ria Gunadi, saat menyampaikan paparan, masukan, kritikan Saranya, di Ruang Komisi IV Nusantara V, Senayan Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Jakarta, Lampunggo.com – Anggota Komisi V DPR RI, Dwita Ria Gunadi, menyoroti kebijakan terbaru Kementerian Pertanian terkait penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) ayam ras hidup sebesar Rp18.000 per kilogram mulai 19 Juni 2025. Menurutnya, kebijakan tersebut perlu dikaji ulang secara menyeluruh karena tidak mencerminkan realitas di lapangan yang dialami peternak dan petani, khususnya di daerah seperti Lampung.

Politisi Gerindra dapil Lampung II itu, menyampaikan keresahannya terkait tingginya biaya pakan ternak dan rendahnya harga jual hasil peternakan.

“Saat ini, para peternak menghadapi kenaikan harga pakan hingga 20% sejak awal tahun, sementara harga jagung pipilan kering sebagai bahan baku utama pakan justru berada di bawah HPP,” ungkap Dwita, saat RDP bersama Kementerian Pertanian di ruang Komisi, Rabu (2/7/2025), 

Lebih lanjut, Dwita juga mempertanyakan rendahnya harga jagung petani, padahal pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 mengenai pengadaan dan pengelolaan jagung dalam negeri serta penyaluran cadangan pangan. Dalam inpres tersebut, HPP jagung kering ditetapkan Rp5.500 per kilogram dengan kadar air 18–20%.

Namun, menurut Dwita, kebijakan itu tidak realistis karena petani jagung tidak mampu menghasilkan jagung dengan kadar air sesuai standar hanya melalui pengeringan alami.

“Petani jagung di Lampung misalnya, saat panen jagung kering di pohon, kadar airnya hanya mencapai 30–35%. Untuk mencapai kadar 18–20% perlu perlakuan khusus seperti pengeringan mekanis, dan ini jelas menimbulkan biaya tambahan serta penyusutan harga,” ujarnya.

Akibatnya, harga jagung yang diterima petani hanya sekitar Rp4.700–Rp4.800 per kilogram, jauh di bawah HPP yang telah ditetapkan. Hal ini menimbulkan kerugian besar bagi petani dan menyebabkan ketimpangan antara harapan kebijakan dan kenyataan di lapangan.

“Petani sudah berteriak, Pak. HPP ini justru tidak dinikmati oleh petani, tetapi oleh pelaku industri dan pengusaha besar. Kita harus jujur soal ini,” tegasnya.

Selain itu, Dwita juga menyoroti lambatnya realisasi program irigasi dan pompanisasi yang menjadi andalan dalam menghadapi musim kemarau yang diperkirakan berlangsung dari Juli hingga Oktober 2025.

Pemerintah, dalam rencana kerjanya, telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk pembangunan dan revitalisasi irigasi serta 80 ribu titik pompanisasi di berbagai wilayah. Namun hingga triwulan ketiga ini, Dwita menilai belum ada implementasi nyata di lapangan.

“Kami minta kejelasan soal alokasi anggaran program ini. Sampai sekarang belum ada satu pun titik yang terealisasi, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan,” ujar politisi Gerindra tersebut.

Dwita juga mengkritisi rendahnya performa eselon di Kementerian Pertanian, yang menurutnya belum menunjukkan progres signifikan dalam menyelesaikan berbagai program strategis nasional. Ia menegaskan bahwa kondisi ini berpotensi mengganggu pencapaian target swasembada pangan yang telah menjadi prioritas Presiden Prabowo.

“Kami mendukung agar sistem informasi dan manajemen pertanian nasional (Islaid) diselesaikan. Ini penting untuk memastikan program swasembada pangan berjalan sesuai rencana,” katanya.

Menurutnya, program-program strategis nasional seperti pengelolaan jagung, stabilisasi harga ayam ras hidup, dan pembangunan infrastruktur pertanian harus direspons cepat oleh Kementerian. Jika tidak, maka yang akan dirugikan adalah jutaan petani dan peternak kecil, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi sentra produksi pangan nasional.

Dwita Ria Gunadi menegaskan bahwa perlindungan terhadap petani jagung dan peternak ayam harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar wacana dalam dokumen perencanaan.

“Selisih kadar air dari 30–35% ke 18–20% itu bukan hal kecil. Ini menyangkut teknologi pascapanen dan akses petani terhadap alat pengering jagung. Tidak semua petani mampu, jadi negara harus hadir,” tegasnya.

Ia pun mendesak agar Kementerian Pertanian segera mengkaji ulang kebijakan penetapan HPP serta mempercepat realisasi bantuan irigasi dan pompanisasi.

“Kalau pemerintah ingin swasembada pangan berhasil, maka jangan biarkan petani berjuang sendiri. Kita lindungi kesejahteraan petani” tutupnya.(Ror)

Berikan Reaksi Anda

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow