Penolakan Ranperda KTR: Suara Warung Kecil dan Pelaku Industri Tembakau dari Jakarta

Jakarta, Lampungo.com– Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta menuai penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, terutama pelaku usaha kecil dan pemilik warung kelontong. Aspirasi ini disampaikan langsung oleh perwakilan masyarakat pertembakauan, pedagang kecil, hingga pekerja industri rokok kepada Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPRD DKI Jakarta, Rabu 11/6/2025.
Ketentuan-ketentuan dalam Ranperda KTR dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil dan berpotensi mematikan mata pencaharian ribuan warga Jakarta. Beberapa pasal yang menjadi sorotan antara lain larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan taman bermain, larangan pemajangan produk, hingga pembatasan iklan dan sponsorship produk tembakau.
Ine, seorang pemilik warung kelontong di Jakarta Selatan, menyuarakan keresahannya. Baginya, penjualan rokok adalah salah satu sumber penghasilan utama. Jika aturan ini diterapkan secara ketat, banyak warung seperti miliknya akan gulung tikar.
“Kalau dilarang total, sama saja menyuruh saya berhenti berdagang. Ini tidak adil. Kami butuh perlindungan, bukan justru dipinggirkan,” ujar Ine.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, menyatakan pihaknya tidak menentang regulasi terhadap rokok. Namun, pendekatan larangan total seperti yang diusulkan dalam Ranperda KTR justru kontraproduktif dan merugikan seluruh ekosistem pertembakauan, termasuk petani, pedagang, dan pelaku industri kreatif.
“Kami sepakat bahwa perilaku merokok perlu diatur, namun bukan melalui larangan menyeluruh yang mengorbankan penghidupan masyarakat kecil,” tegas Budhyman.
Ia menyoroti bahwa pelarangan pemajangan produk dan iklan rokok dapat mematikan banyak lini usaha, termasuk media dan event organizer yang selama ini bergantung pada sponsor dari industri tembakau.
Selain itu, ia mengkritisi Ranperda KTR yang dinilai tidak sejalan dengan visi menjadikan Jakarta sebagai kota global dan pusat ekonomi nasional. Menurutnya, peraturan ini justru bertolak belakang dengan upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi dan pelemahan daya beli masyarakat.
Sementara Ketua Umum Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (RTMM) SPSI DPD DKI Jakarta, Ujang Romli, mengingatkan bahwa penerapan Ranperda KTR dapat memicu krisis ketenagakerjaan baru di ibu kota.
“Per Februari 2025, pengangguran di Jakarta sudah mencapai 338 ribu orang. Jika Ranperda KTR disahkan tanpa revisi, industri akan terpukul dan gelombang PHK bisa terjadi,” ujar Ujang.
Menurutnya, prioritas utama seharusnya adalah menyerap tenaga kerja dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, bukan justru menambah beban bagi pekerja dan pelaku usaha kecil.
Sejumlah pihak menyuarakan perlunya pendekatan yang lebih inklusif, proporsional, dan partisipatif dalam menyusun regulasi seperti Ranperda KTR. Edukasi masyarakat, penyediaan ruang merokok yang tertib, serta pembatasan yang realistis dinilai lebih efektif ketimbang larangan total yang represif. (Ror).
Berikan Reaksi Anda






