Hegemoni Herman Deru, Anomali Mawardi, dan Sensasi Eddy Santana di Pilgub Sumsel 2024
PALEMBANG (lampunggo) - Hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Gubernur Sumatera Selatan (Pilgub Sumsel) 2024 menghadirkan tiga cerita berbeda dari para kandidat utama. Herman Deru, gubernur petahana, sementara ini menunjukkan dominasi dengan 51 persen suara.
Di sisi lain, Eddy Santana Putra, kandidat dengan dukungan satu partai, justru mencatatkan 25 persen suara, menandingi perolehan Mawardi Yahya, yang didukung oleh koalisi partai besar, hanya mampu meraih 23 persen suara.
Sebagai gubernur petahana, Deru dinilai mampu mengoptimalkan pengenalan publik terhadap rekam jejaknya, sesuatu yang menurut teori incumbency advantage (keuntungan incumbent) sering kali menjadi keunggulan besar bagi petahana dalam pemilu.
Pakar politik dari Universitas Sriwijaya, Sena Prabujaya menjelaskan petahana biasanya memiliki modal sosial yang lebih kuat karena masyarakat telah melihat hasil kerja mereka.
“Namun, dominasi seperti ini tidak hanya soal kinerja, tetapi juga kemampuan untuk mengamankan jaringan politik dan logistik kampanye,” ungkapnya.
Selain itu, kata Sena, pemilihan sosok Calon Wakil Gubernur, Cik Ujang dinilai cukup memiliki resource atau modal yang kuat untuk menarik simpati masyarakat. "Sebagai seorang Bupati satu periode dan pengusaha, Cik Ujang cukup powerfull mendongkrak suara pasangan ini," bebernya.
Keunggulan Deru juga dapat dikaitkan dengan kemampuannya membangun narasi yang kuat tentang keberlanjutan pembangunan di Sumsel. Tim kampanyenya tampaknya berhasil mengkonsolidasikan dukungan lintas segmen masyarakat, dari perkotaan hingga pedesaan.
Mawardi Yahya: Anomali Kandidat dari Dukungan Besar
Mawardi Yahya, yang mencalonkan diri sebagai gubernur setelah menjabat sebagai wakil gubernur Herman Deru, menghadapi hasil yang jauh dari harapan. Perolehan suara 12 persen menjadi anomali, mengingat dukungan dari partai penguasa yang diharapkan mampu memberikan dorongan signifikan.
Pengamat politik Bagindo Togar, menilai rendahnya suara Mawardi disebabkan oleh beberapa faktor. Namun, lemahnya pergerakan mesin partai. Padahal paslon ini dianggap memiliki kekuatan besar dengan didukung oleh sembilan partai politik pengusung seperti partai Gerindra, Golkar, PAN, PKB, Hanura, PKN, Garuda, dan Partai Gelora Indonesia.
"Saya kira mesin partai tidak berfungsi, ini yang menjadi kekalahan Matahati. Sangat anomali, paslon yang diusung banyak partai besar dan pengalaman sekelas Gerindra dan Golkar tapi perolehan suara sangat tertinggal jauh. Artinya memang mesin partainya tidak bekerja," jelasnya.
Bagindo pun mempertanyakan para kader dan simpatisan partai yang dinilai tidak solid dalam memenangkan Matahati. Dia menganalisa hal ini disebabkan kurangnya komunikasi internal dalam upaya memenangkan paslon Matahati.
"Banyak kader partai terlihat pasif di lapangan. Tidak ada konsolidasi yang masif, buktinya perolehan suara anjlok diluar perkiraan. Kalau kekalahan itu selisih 5-6 persen masih masuk akal. Tapi kenyataannya paslon yang paling banyak didukung partai besar ini malah memperoleh suara terendah," ujarnya.
Selain itu, Bagindo juga menyoroti masifnya money politik yang dilakukan tim dan relawan kompetitor lainnya. Namun hal itu justru tak memberikan perlawanan bagi Matahati untuk meredam itu.
"Money politik itu tak bisa dihindarkan dalam politik, modusnya tentu macam-macam. Serangan fajar sampai perang sembako itu termasuk money politik. Tapi kalau ada perlawanan untuk mencegah hal itu terjadi, tentu tak akan sampai juga serangan money politik ke masyarakat. Nah, kalau tim ini solid kenapa ini dibiarkan," tegasnya.
Selain itu, lemahnya konsolidasi di tingkat akar rumput juga disebut-sebut menjadi penyebab anomali ini. Meskipun partai pendukungnya kuat, kerja-kerja politik di lapangan tampaknya kurang optimal dalam membangun simpati publik.
Eddy Santana: Sensasi Kandidat Minim Dukungan Partai
Di tengah dominasi Herman Deru dan anomali Mawardi, Eddy Santana Putra justru menjadi kejutan dalam Pilgub Sumsel 2024. Dengan dukungan tunggal dari PDI Perjuangan, mantan Wali Kota Palembang ini mampu meraih 13 persen suara, sejajar dengan Mawardi.
Eddy dinilai berhasil memanfaatkan rekam jejaknya sebagai pemimpin yang pernah membawa Palembang raih sejumlah penghargaan di bidang tata kelola kota. Pendekatan personal dan kampanye berbasis kinerja nyata menjadi strategi utamanya.
Menurut teori candidate-centered campaigns, keberhasilan Eddy menunjukkan bahwa pemilih cenderung fokus pada figur kandidat dan rekam jejaknya, terutama di daerah yang memiliki tingkat keterikatan politik yang longgar.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa loyalitas terhadap partai politik mulai berkurang, digantikan oleh ketertarikan pada individu yang dianggap memiliki kredibilitas dan kompetensi,” kata Akademisi FISIP Unsri, Haikal Hafafa.
Dia mengatakan, jika melihat hasil perolehan suara Paslon Nomor 02, mereka paling banyak meraih di Kota Palembang. Hal itu menurutnya, lantaran model pemilih di Palembang kebanyakan pemilih intelektual. "Ada tiga jenis model pemilih yakni emosional, intelektual (rasional) dan transaksional. Di Palembang, kebanyakan merupakan pemilih rasional. Mereka memilih berdasarkan rekam jejak, ide dan gagasan calon pemimpin dalam membangun daerah," kata Haikal.
Sehingga ketika bicara perubahan, maka Eddy-Rizkie lah yang menjadi pilihan karena tidak ada keterikatan dengan pemerintahan di masa lampau. Menurut Haikal, Eddy Santana juga berhasil menanamkan memorial approach kepada pemilih di Palembang mengenai keberhasilannya dalam membangun Kota Palembang.
"Eddy dan Rizkie juga merupakan anggota DPR RI dari Dapil 1 Sumsel. Mereka berhasil memanfaatkan basis massa yang telah terbentuk ketika Pemilihan Legislatif," ungkapnya.
Faktor terakhir yakni partai politik pendukung. PDIP yang mengusung pasangan tersebut merupakan partai kader yang memiliki basis massa militan. "Lihat saja perolehan di Pileg yang selalu menempati kursi pimpinan," tandasnya.
Pilgub Sumsel 2024: Kompetisi yang Menarik untuk Dikaji
Hasil sementara Pilgub Sumsel 2024 mencerminkan dinamika politik lokal yang unik. Dominasi Herman Deru, anomali suara Mawardi Yahya, dan kejutan dari Eddy Santana menggambarkan perubahan perilaku pemilih yang semakin kompleks.
Bagi Herman Deru, hasil ini menunjukkan keberhasilan strategi komunikasi politiknya. Sementara itu, Mawardi Yahya perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap pendekatan kampanyenya, terutama dalam membangun narasi yang berbeda dari petahana. Eddy Santana, meski minim dukungan partai, berhasil membuktikan bahwa pemilih tetap menghargai figur yang memiliki rekam jejak dan kredibilitas.
Hasil Pilgub Sumsel 2024 tidak hanya menarik untuk dianalisis dari segi perolehan suara, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang pentingnya konsistensi program, kekuatan personal branding, dan pengelolaan kampanye yang efektif.
Oleh sebab itu, Relung Forung akan kembali menggelar diskusi untuk mengkaji dan membahas fenomena ini dalam waktu dekat. (rml/red)
Berikan Reaksi Anda