Harga Singkong Anjlok, Petani Diminta Waspada Dampak Lesunya Permintaan Tapioka Dunia

BANDARLAMPUNG, Lampunggo.com— Para petani singkong di Lampung kini menghadapi kenyataan pahit seiring melemahnya permintaan tapioka dunia pada 2024–2025.
Penurunan tersebut dipicu lesunya kebutuhan sektor kertas dan pangan global, berdampak langsung pada harga di tingkat lokal.
Ketentuan harga Rp1.350/kg dari pemerintah dengan potongan maksimal 30 persen tak lagi relevan, karena di lapangan petani hanya menerima Rp1.000–1.100/kg akibat rafaksi yang mencapai 40 persen.
Kondisi ini membuat pendapatan petani tergerus, sementara ongkos produksi terus naik.
Sebagai sentra utama tapioka nasional, Lampung memiliki luas tanam singkong mencapai 239.994 hektare dengan produktivitas 7,16 juta ton pada 2024.
Dari angka tersebut, sekitar 1,79 juta ton tepung tapioka diproduksi setiap tahun melalui 67 pabrik yang tersebar di sembilan kabupaten.
Lampung Tengah menjadi episentrum dengan 36 perusahaan, ditopang pabrik besar seperti PT Budi Acid Jaya, PT Florindo Makmur, PT Sungai Bungur Indo Perkasa, dan PT Sinar Pematang Mulia II. Nilai produksi tahunan ditaksir menembus Rp10,7 triliun.
Namun kelebihan pasokan menyebabkan stok tepung menumpuk hingga 400 ribu ton per pertengahan 2025. Akibatnya, serapan pasar melemah, sehingga industri mengurangi harga beli bahan baku.
Di tingkat global, harga ekspor FOB Bangkok untuk tapioka yang semula mencatat US$568 per ton pada awal 2024 kini hanya berada pada posisi US$405–450 per ton.
Kejatuhan tersebut menular ke pasar dalam negeri dan ikut menekan daya tawar petani Lampung. Asosiasi Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) memperkirakan tren penurunan masih akan berlangsung hingga awal 2026.
Ketua MSI Lampung, Helmi Hasanuddin, menyebut pola kemitraan konkret antara petani, pemerintah, dan pabrik menjadi kunci keberlangsungan usaha.
Menurutnya, penerapan panca usaha tani, peningkatan kadar pati, hingga integrasi dukungan BUMN dan swasta sangat mendesak dilakukan.
Ia juga mendorong petani melakukan diversifikasi menuju jagung, sepanjang berada dalam satu ekosistem bisnis yang tertutup dengan UMKM pakan dan peternak lokal.
Sementara itu, Sekretaris Himpunan Perusahaan Tepung Tapioka Indonesia (HPPTI), Tigor Silitonga, menilai tekanan harga terjadi karena berkurangnya penggunaan tapioka pada sektor kertas akibat digitalisasi.
Ia menegaskan perlunya proteksi pasar domestik melalui pembatasan impor sekaligus peningkatan produktivitas petani.
Menurutnya, meskipun jagung terlihat menjanjikan dengan harga pembelian pemerintah Rp5.500/kg dan komitmen Bulog menyerap 1 juta ton, namun singkong telah membudaya serta menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Lampung.
Ia mengingatkan bahwa untuk jangka panjang, kekuatan Lampung justru terletak pada kemampuannya memperkuat industri tapioka dari hulu hingga hilir.
Tanpa kebijakan afirmatif, efisiensi produksi, dan pola kemitraan yang saling menguntungkan, para petani terancam makin terpuruk. Lampung bisa tetap menjadi “negeri singkong”, tetapi hanya jika keberlanjutan ekonominya diselamatkan mulai sekarang. (***)
Berikan Reaksi Anda






