Gubernur Lampung Ungkap Krisis Industri Singkong: Petani Tercekik, Tapioka Melimpah Tak Terserap
Jakarta — Krisis industri singkong dan tepung tapioka di Provinsi Lampung mencapai titik kritis. Dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal secara terbuka mengungkapkan kondisi memprihatinkan yang tengah menjerat petani singkong serta industri pengolahan tapioka di daerahnya.

Rahmat menyampaikan bahwa sektor pertanian, khususnya singkong, merupakan tulang punggung perekonomian Lampung. Namun ironisnya, para petani justru terjerat dalam sistem yang tidak berpihak, sementara industri pengolahan pun kesulitan bersaing di pasar nasional maupun internasional.
Dalam keterangannya, Gubernur Rahmat mengungkapkan bahwa hampir 70% dari total penduduk Lampung yang berjumlah sekitar 9,4 juta jiwa menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Dari jumlah itu, sekitar 800.000 keluarga atau setidaknya dua juta jiwa adalah petani singkong.
“Singkong bukan hanya komoditas, tapi sumber penghidupan mayoritas rakyat kami,” tegas Rahmat, di Senayan Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan kontribusi besar singkong terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung. Dari total PDRB sebesar Rp483 triliun, sebanyak Rp50 triliun dihasilkan dari sektor singkong dan produk turunannya, menjadikannya kontributor utama setelah padi dan jagung.
Rahmat mengungkapkan bahwa sejak tahun 2001 sebenarnya sudah ada program pengembangan industri singkong rakyat yang dikenal sebagai Industri Tanaman Tapioka Rakyat (ITARA). Sayangnya, program tersebut tidak dikawal secara berkelanjutan dan tidak memiliki sistem tata niaga yang terintegrasi antara petani dan pelaku industri.
“Petani dan industri berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada sinkronisasi. Baru tiga tahun terakhir ada asosiasi petani, dan baru tahun ini dibentuk organisasi industri singkong secara resmi,” jelasnya.
Salah satu isu paling krusial adalah rendahnya harga jual singkong. Pada 2024, Harga Eceran Tertinggi (HET) singkong hanya berada di angka Rp900 per kilogram, dengan potongan antara 15% hingga 20%. Alhasil, petani hanya memperoleh pendapatan sekitar Rp1 juta per hektare per bulan — jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Setelah adanya aksi demonstrasi dari para petani, HET sempat dinaikkan menjadi Rp1.350 per kilogram. Namun kebijakan ini tidak mampu menjawab persoalan. Industri tidak mampu menyerap dengan harga tersebut karena dianggap tidak kompetitif.
“Pengusaha pun merugi. Akhirnya mereka tidak membeli dari petani, dan beralih ke produk impor yang lebih murah,” ujar Rahmat.
Lebih menyedihkan lagi, tepung tapioka impor dari luar negeri dijual dengan harga sekitar Rp5.200 per kilogram, sedangkan biaya produksi lokal per kilogram mencapai Rp6.000. Produk impor pun bebas dari beban pajak, sehingga industri dalam negeri semakin terjepit.
“Impor lebih murah dan tidak kena pajak. Akhirnya pengusaha lokal lebih memilih impor. Singkong dari petani Lampung tidak terserap dan jadi menumpuk,” imbuhnya.
Per Juni 2025, stok singkong di Lampung diperkirakan menumpuk hingga 250.000 ton, tanpa kepastian akan diserap oleh industri dalam waktu dekat.
Masalah lainnya yang disoroti adalah ketidaksesuaian data antara pusat dan daerah. Berdasarkan data Sistem Informasi Nasional (SINAS), produksi tapioka Lampung disebut hanya mencapai 1,4 juta ton. Namun menurut data dari para pengusaha lokal dan Kantor Wilayah Pajak, produksi sebenarnya berkisar antara 3,9 hingga 4,2 juta ton.
“Kalau satu ton tapioka butuh empat ton singkong, berarti produksi kami bisa mencapai hampir 20 juta ton singkong. Lahan singkong di Lampung saja ada sekitar 600.000 hektare. Ini jauh dari asumsi data pusat,” terang Gubernur.
Ketidaktepatan data ini berujung pada kebijakan nasional yang tidak sesuai dengan realita di lapangan. Rahmat pun menekankan pentingnya integrasi data antara pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran dan berpihak kepada rakyat.
Sebagai langkah darurat, pemerintah daerah bersama pelaku industri sepakat menetapkan harga Rp1.320 per kilogram singkong, meskipun dengan potongan 30%. Langkah ini diambil demi menyelamatkan para petani dari kerugian total, meski tetap belum menyelesaikan akar persoalan.
“Pengusaha terpaksa menyetujui HET potongan 30%. Tujuannya hanya satu: menyelamatkan petani. Tapi ini bukan solusi jangka panjang,” ujar Rahmat.
Gubernur Lampung menegaskan bahwa dibutuhkan regulasi yang berpihak, perbaikan sistem tata niaga, perlindungan dari persaingan impor yang tidak adil, serta akurasi data yang lebih baik untuk membangkitkan kembali industri singkong dan tapioka di Lampung.
“Kami butuh dukungan pusat. Kalau ini tidak diselamatkan, maka lebih dari dua juta masyarakat Lampung akan terus hidup dalam lingkaran kemiskinan, sementara industri lokal mati perlahan,” tutupnya.
Berikan Reaksi Anda






