OTT KPK Bongkar Dugaan Suap Pengelolaan Kawasan Hutan Lampung: Dirut Inhutani V Jadi Tersangka

Jakarta, Lampunggo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan suap terkait kerja sama pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan PT Industri Hutan V (Inhutani V) dan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML). Kasus ini terungkap lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) di empat lokasi berbeda pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan, OTT dilakukan di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor. Dari operasi tersebut, sembilan orang diamankan, termasuk Direktur Utama Inhutani V Dicky Yuana Rady, Direktur PT PML Djunaidi, dan Staf Perizinan SB Group Aditya.
"KPK telah menangkap enam orang, yakni Dicky Yuana Rady, Komisaris Inhutani V Raffles, Djunaidi, Joko dari SB Group, serta dua staf PT PML, Arvin dan Sudirman.
Di Bekasi, Aditya diamankan. Sementara di Depok dan Bogor, tim KPK meringkus mantan Direktur PT Inhutani Bakhrizal Bakri dan Yuliana, sekretaris Djunaidi," kata Asep Guntur, pada awak media, Jum'at (15/8/2025).
Adapun barang bukti yang disita KPK meliputi uang tunai Sin$189.000 (sekitar Rp2,4 miliar), Rp8,5 juta uang rupiah, satu unit Jeep Rubicon, dan satu unit Mitsubishi Pajero milik Dicky.
PT Inhutani memiliki hak kelola kawasan hutan di Lampung seluas 56.547 hektare. Sebagian lahan dikerjasamakan dengan PT PML melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang mencakup tiga wilayah:
Register 42 (Rebang) – 12.727 ha
Register 44 (Muaradua) – 32.375 ha
Register 46 (Way Hanakau) – 10.055 ha
Namun, PT PML disebut menunggak kewajiban sejak 2018–2019, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) senilai Rp2,31 miliar, pinjaman dana reboisasi Rp500 juta per tahun, dan laporan kegiatan bulanan.
Pada Juni 2023, Mahkamah Agung memutuskan PKS 2018 tetap berlaku dan PT PML wajib membayar ganti rugi Rp3,4 miliar. Meski bermasalah, awal 2024 PT PML tetap ingin melanjutkan kerja sama.
Juni 2024: Pertemuan di Lampung antara manajemen Inhutani dan PT PML menyepakati pengelolaan hutan dalam Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH).
Agustus 2024: Djunaidi mentransfer Rp4,2 miliar ke rekening PT Inhutani. Di waktu yang sama, Dicky diduga menerima Rp100 juta untuk kepentingan pribadi.
November 2024: Dicky menyetujui perubahan RKUPH yang mengakomodasi kepentingan PT PML.
Februari 2025: Dicky menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang memuat kepentingan PT PML.
Djunaidi memerintahkan stafnya membuat bukti setor senilai Rp3 miliar dan Rp4 miliar sehingga laporan keuangan PT Inhutani berubah dari "merah" menjadi "hijau". Total dana yang disebut keluar dari PT PML untuk PT Inhutani mencapai Rp21 miliar.
Pada Juli 2025, Dicky bertemu Djunaidi di lapangan golf Jakarta dan meminta mobil baru. Djunaidi setuju, lalu mengutus Aditya mengantarkan uang Sin$189.000 ke kantor Inhutani sebagai bagian dari pembelian mobil Rp2,3 miliar.
Pada 13 Agustus 2025, KPK mengamankan sembilan orang berikut barang bukti uang tunai, mobil mewah, dan dokumen transaksi. Setelah pemeriksaan, KPK menetapkan tiga tersangka:
1. Dicky Yuana Rady – penerima suap
2. Djunaidi – pemberi suap
3. Aditya – pemberi suap
Dicky dijerat Pasal 12 huruf a/b atau Pasal 11 UU Tipikor.
Djunaidi dan Aditya dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a/b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Asep Guntur menegaskan, KPK akan menelusuri lebih jauh aliran dana dan pihak lain yang terlibat.
“Dugaan suap ini bukan hanya soal uang miliaran, tetapi juga penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam negara,” tegas Asep.
Berikan Reaksi Anda






