Aria Bima Kaget Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu: Usulkan Pilpres dan Pilkada Dipisah dari Pileg
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mengaku terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan pelaksanaan Pemilu Legislatif tingkat pusat dan daerah.

Jakarta, Lampunggo.com – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mengaku terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan pelaksanaan Pemilu Legislatif tingkat pusat dan daerah. Politikus PDI Perjuangan ini menilai, keputusan tersebut membawa implikasi politik yang besar dan perlu dikaji lebih dalam.
"Ya, keputusan MK ini cukup mengejutkan. Padahal sebelumnya, dalam berbagai simulasi dan diskusi, kita sudah membahas keserentakan pemilu sebagai upaya efisiensi dan efektivitas. Tapi pengalaman Pemilu 2024 lalu menunjukkan tantangan besar akibat jadwal yang terlalu mepet antara pilpres dan pilkada," kata Aria Bima kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Menanggapi dinamika tersebut, Aria Bima menyampaikan keinginan Komisi II DPR RI untuk mendorong revisi Undang-Undang Pemilu. Fokus revisi ini kata dia memisahkan pemilu secara horizontal, yaitu memisahkan pemilu eksekutif dari pemilu legislatif.
"Pemilu eksekutif dipisahkan dari pemilu legislatif. Tahapan pertama itu khusus untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota," ujar Aria.
"Baru setelah itu dilaksanakan pemilu legislatif, mulai dari DPR RI dan DPD di tingkat pusat, hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Ini akan menciptakan konsentrasi yang lebih baik bagi pemilih dan penyelenggara pemilu," imbuhnya.
Menurut Aria Bima, model ini akan menghindari penumpukan agenda politik dan logistik yang sempat menjadi sorotan tajam pada pemilu sebelumnya. Selain itu, pemisahan juga diharapkan dapat menekan angka golput serta mendorong partisipasi masyarakat yang lebih aktif.
Lebih jauh, Aria Bima menyoroti potensi kekosongan jabatan yang bisa terjadi di tingkat DPRD akibat putusan MK tersebut. Ia mengingatkan, meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, tetap harus ada pertimbangan terhadap dampak politik dan administratif, khususnya di daerah.
“Kalau memang keputusan MK masih bisa diberi ruang tafsir politik, menurut saya sebaiknya kita jalankan rezim pemilu secara horizontal. Pemilu eksekutif kita satukan, lalu legislatif diselenggarakan di tahap berikutnya. Itu jauh lebih rasional dan stabil,” ucapnya.
Ia menilai pendekatan vertikal—di mana pemilu nasional dilaksanakan lebih dulu, kemudian disusul pemilu daerah—tidak terlalu menjawab kebutuhan akan efisiensi dan keselarasan politik di akar rumput. Model ini justru bisa menyulitkan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah.
“Kami di Komisi II masih perlu masukan dari berbagai narasumber, termasuk para pakar dan pemangku kepentingan, untuk menilai implikasi hukum dan politik dari putusan MK ini terhadap proses legislasi berikutnya,” lanjut Aria.
Terkait sikap resmi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Aria Bima menyebutkan partainya masih melakukan pembahasan internal. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP, menurutnya, sedang menggelar rapat khusus guna merumuskan sikap resmi partai.
“PDIP masih dalam posisi mempertimbangkan semua aspek. Tadi Pak Deddy Sitorus selaku Ketua Bidang Pemilu dan Pilkada DPP PDIP juga tengah memimpin rapat membahas respons partai terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini,” ujarnya.
Aria menegaskan, apapun hasil pembahasan DPP PDIP nantinya, harus tetap menempatkan kepentingan demokrasi yang sehat, berintegritas, dan stabilitas politik nasional sebagai prioritas utama.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi pada akhir Juni 2025 memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu legislatif daerah (DPRD provinsi dan kabupaten/kota) dipisahkan dari pemilu legislatif pusat (DPR RI dan DPD). Putusan ini memicu perdebatan luas karena dinilai akan mengubah sistem pemilu serentak yang selama ini dijalankan. (Ror)
Berikan Reaksi Anda






