Dugaan Korupsi Pertambangan Dwinad Nusa Sejahtera, Lebih Besar dari Kasus ABS di Kejati Sumsel, Ada Nama Boy Tohir dan Sandiaga Uno?
PALEMBANG (lampunggo) - Bekas galian tambang emas milik PT Dwinad Nusa Sejahtera (DNS) masih menyisakan masalah. Hingga kini, areal galian tersebut belum juga dilakukan reklamasi. Padahal, direksi perusahaan ini telah menyatakan berhenti operasional secara keseluruhan sejak 1 Agustus 2018 silam.
Lokasi galian yang berada di Desa Sukamenang, Karang Jaya, Musi Rawas Utara (Muratara) dibiarkan begitu saja. Tanpa ada penjagaan maupun upaya penutupan. Alhasil, bekas galian tersebut dimanfaatkan warga untuk melakukan penggalian secara tradisional.
Penambangan emas yang dilakukan PT DNS di areal ini sudah berlangsung cukup lama. Berdasarkan penelusuran, secara resmi, perusahaan telah mengantongi izin usaha sejak 2007. Hingga akhirnya, berhenti operasional ada 2018 lantaran menderita kerugian dua tahun berturut-turut.
Perusahaan ini merupakan anak usaha Sumatra Copper and Gold PLC. Sejumlah nama konglomerat di negeri ini terdaftar dalam perusahaan tersebut. Sebut saja nama Garibaldi Thohir atau Boy Thohir yang memiliki saham sebanyak 11 persen. Lalu, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) yang didirikan Sandiaga Uno bersama Edwin Soeryadjaya. SRTG memiliki sebanyak 16 persen saham di perusahaan tersebut.
Sementara sebagian besar saham Sumatra Copper and Gold PLC dimiliki oleh Provident Minerals sebanyak 26 persen dan sisanya dimiliki publik di pasar modal Australia.
Penelusuran di situs https://modi.esdm.go.id/, PT DNS sendiri saat ini diisi jajaran direksi yang terdiri dari Robert Gordon Matthews Gergory sebagai Direktur Utama, Adi Adriyansah Sjoekri sebagai Direktur dan Jocelyn Severyn de Warrenne Walter sebagai Komisaris Utama. Perusahaan berkantor di The Convergence Indonesia Lantai 20.
Meski merugi dua tahun dan akhirnya berhenti beroperasi, perusahaan nyatanya masih memperpanjang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam situs tersebut, perusahaan mendapat IUP nomor 1/I/IUP-PB/PMA/2018 yang berlaku 19 April 2018 hingga 4 April 2032 dengan luas 9.979 hektare.
Bekas Tambang PT DNS Jadi Lokasi Penambangan Ilegal
Kondisi tambang yang terkesan dibiarkan begitu saja menimbulkan kekhawatiran dari warga setempat. Pasalnya, banyak warga sekitar maupun pendatang yang mempertaruhkan nyawanya untuk menambang emas secara tradisional di kawasan tersebut.
Kepala Desa Sukamenang, Alfatah mempertanyakan proses reklamasi lahan pasca tambang yang dilakukan perusahaan. Sebab, hingga saat ini kondisi lubang galian masih dibiarkan begitu saja.
Menurutnya, lahan bekas tambang di desanya tersebut sebelumnya digarap PT DNS. Namun, perusahaan tersebut sudah tutup. Alat-alat pengolahan hasil tambang juga banyak yang sudah dilelang dan diangkut dari Kabupaten Muratara.
"Namun, kami juga tidak tahu kapan realisasinya. Apa yang akan dilakukan. Kalau ditimbun lagi, saya kira sudah tidak bisa," ucapnya.
Alfatah mengatakan, reklamasi yang dilakukan diharapkan dapat memulihkan lahan agar bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar. "Kalau lahan ini direklamasi, tidak ada lagi penambangan liar yang dilakukan warga," bebernya.
Dia mengatakan, untuk saat ini lokasi lahan tersebut digarap oleh masyarakat menggunakan alat secara manual untuk mencari emas. "Kalau untuk sekarang lahan tersebut digarap oleh masyarakat secara manual mencari emas," jelasnya.
Sebelumnya, lahan bekas galian tambang emas milik PT DNS tersebut menjadi buruan warga sekitar maupun pendatang. Mereka menggali kembali dinding galian untuk mendapatkan bongkahan napal hitam yang disebut 'or' yang terkandung butiran emas.
Penambang membentuk kelompok yang bekerja untuk mengeruk lokasi bekas lubang tambang perusahaan. Tanah tersebut diangkut menggunakan motor yang dimodifikasi secara khusus agar bisa menempuh jalan berlumpur. Selanjutnya, or tersebut diolah untuk mengambil butiran emas yang terkandung di dalamnya.
Desak APH Turun Tangan
Reklamasi yang tak kunjung dilakukan PT DNS berpotensi menimbulkan kerugian negara. Sebab, kerusakan lingkungan yang dibiarkan begitu saja selama beberapa tahun terakhir menimbulkan dampak terhadap kehidupan masyarakat.
Mulai dari bencana banjir, tanah longsor hingga penambangan ilegal yang dilakukan warga. Bahkan diperkirakan, kerugian negara yang ditimbulkan melebihi dari dugaan korupsi pengelolaan tambang PT Andalas Bara Sejahtera (ABS) yang saat ini tengah diusut Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel.
Dalam kasus tersebut, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp488 miliar. Kerugian negara tersebut ditimbulkan dari operasional yang dilakukan PT ABS yang beroperasi sejak 2010-2014 silam.
Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi mengatakan, dana jaminan reklamasi pasca tambang biasanya sudah disetorkan ke kas negara sebelum perusahaan melakukan penambangan.
"Pertanyaannya, kemana dana reklamasi tersebut. Kalau sampai sekarang tidak dilakukan, artinya perusahaan telah menyalahi aturan," kata Rahmat.
Rahmat mengatakan, reklamasi lahan menjadi hal yang wajib bagi perusahaan tambang yang melakukan kegiatan eksplorasi. "Lingkungan yang rusak harus dipulihkan. Sehingga tidak sampai menimbulkan dampak terhadap kehidupan masyarakat di sekitar areal penambangan. Kalau ini tidak dilakukan, perusahaan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit," ungkapnya.
Rahmat mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel untuk segera bertindak melakukan penyelidikan terhadap perusahaan tambang yang tidak melaksanakan kewajibannya melakukan reklamasi.
"Selain penyelamatan lingkungan, upaya penegakan hukum ini diharapkan menjadi efek jera bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajibannya melaksanakan reklamasi," bebernya
Sementara itu, Koordinator LSM Sumsel Bersih, Arlan menegaskan, pelaksanaan reklamasi pasca tambang sebagai langkah krusial untuk memulihkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.
Menurutnya, banyak wilayah di Sumatera Selatan yang terdampak secara ekologis akibat aktivitas tambang yang tidak diiringi dengan upaya reklamasi yang memadai.
Arlan mengatakan, reklamasi bukan hanya kewajiban perusahaan tambang, tetapi juga merupakan upaya menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang.
"Lahan bekas tambang harus dikembalikan fungsinya, baik untuk keperluan konservasi, pertanian, atau hutan kembali. Tanpa reklamasi, kerusakan yang terjadi bisa berdampak panjang dan merugikan masyarakat lokal," tegas Arlan saat diwawancarai.
Reklamasi adalah kegiatan untuk mengembalikan lahan bekas tambang agar dapat berfungsi kembali. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan memulihkan ekosistem alamiah, sumber daya alam, flora dan fauna, serta kualitas air dan tanah.
Reklamasi dapat dilakukan dengan berbagai upaya, seperti revegetasi tanaman lokal, bersinergi dengan alam, memanfaatkan mikroorganisme, fitoremediasi, tempat wisata.
Pengawasan ketat dari pemerintah dan masyarakat sipil menjadi penting agar perusahaan tambang benar-benar melaksanakan kewajiban reklamasi sesuai peraturan yang berlaku.
"Tanpa pengawasan yang kuat, banyak perusahaan yang abai terhadap tanggung jawab ini. Akibatnya, lingkungan yang rusak menjadi beban bagi masyarakat sekitar," jelasnya.
Selain itu, Arlan menekankan, reklamasi juga berdampak langsung pada keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat. "Dengan reklamasi yang baik, lahan-lahan bekas tambang bisa dimanfaatkan kembali untuk aktivitas ekonomi lain seperti pertanian atau pariwisata, sehingga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat sekitar," tambahnya.
Dia membebrkan, ancaman hukum bagi perusahaan tambang yang tidak melakukan reklamasi pasca tambang adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar. Kemudian, pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang
Pasal 123A ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 diatur secara tegas bahwa pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi sebelum menciutkan atau mengembalikan WIUP atau WIUPK wajib melaksanakan Reklamasi dan Pasca tambang hingga mencapai tingkat keberhasilan seratus persen. Pada UU No. 3 Tahun 2020 diatur tentang ancaman pidana bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban untuk menempatkan jaminan atau melaksanakan kegiatan reklamasi. Hal ini dapat ditemukan di Pasal 161B ayat (1) dan (2). Ketentuan Pasal 161B ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020 selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan Reklamasi dan/atau Pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan Reklamasi dan/atau dana jaminan Pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Kemudian, pada Pasal 161B ayat (2) UU No. 30 Tahun 2020 diatur pidana tambahan, dimana selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), eks pemegang IUP atau IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban Reklamasi dan/atau Pascatambang yang menjadi kewajibannya.”
Enam Tersangka Korupsi Pertambangan Segera Disidang
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel telah menyerahkan enam tersangka dan barang bukti kasus dugaan korupsi pengelolaan tambang pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Andalas Bara Sejahtera (ABS) ke Rutan Palembang dan Lapas Perempuan Kelas II A Palembang. Dalam waktu dekat, keenamnya segera dibawa ke meja hijau untuk diadili.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel, Yulianto melalui Kasi Penkum, keenam tersangka beserta barang bukti diserahkan ke JPU Kejari Lahat. "Setelah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti atau tahap II tersebut, penanganan perkara beralih ke JPU Kejari Lahat," ujar Vanni di Palembang.
Enam tersangka tersebut adalah ES, G, B, M, SA, dan LD. ES bertindak sebagai Komisaris atau Komisaris Utama atau Direktur atau Direktur Utama PT Bara Centra Sejahtera dan PT Andalas Bara Sejahtera.
Sementara G dan B masing-masing menjabat sebagai Direktur atau Komisaris di perusahaan yang sama. M, SA, dan LD adalah mantan pejabat di Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lahat periode 2010-2015.
Para tersangka akan menjalani masa tahanan selama 20 hari ke depan, mulai 11 Oktober 2024 hingga 30 Oktober 2024. Tersangka ES, G, B, M, dan SA ditahan di Rutan Palembang, sementara LD ditahan di Lapas Perempuan Kelas II A Palembang.
Vanni menambahkan, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, nilai kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp488.948.696.131,56. "Angka tersebut mencerminkan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi dalam pengelolaan tambang ini," pungkasnya.(rml/red)
Berikan Reaksi Anda